Jumat, 24 Januari 2020

Karangan Argumentasi


Karangan argumentasi menurut Gorys Keraf (2004: 3) adalah suatu bentuk karangan yang berusaha untuk memengaruhi sikap dan pendapat pembaca, sehingga mereka percaya dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis. Sesuai dengan pengertiannya, tujuan argumentasi yakni mengubah atau memengaruhi pikiran pembaca agar percaya dengan karangan yang dibacanya. Karangan argumentasi memiliki ciri-ciri, yakni sebagai berikut (Atar Semi, 2003: 48).
1. Bertujuan meyakinkan orang lain (eksposisi memberi informasi).
2. Berusaha membuktikan suatu pernyataan atau pokok persoalan (eksposisi menjelaskan).
3. Menggugah pendapat pembaca (eksposisi menyerahkan keputusan kepada pembaca).
4. Fakta yang ditampilkan merupakan bahan pembuktikan (eksposisi menggunakan fakta sebagai alat peng-kongkretan).
Keberhasilan sebuah argumentasi sangat ditentukan oleh adanya pernyataan (pendapat), keseluruhan data, fakta, atau alasan. Hal-hal yang menjadi bukti tersebut dapat berupa benda-benda konkret, angka, statistik, dan penalaran pengarang. Berikut contoh sederhana karangan argumentasi.

Kesadaran siswa terhadap kebersihan sangat rendah. Banyak siswa yang membawa jajanan ke dalam kelas sehingga bungkus plastik berceceran di lantai. Ada juga yang disembunyikan di laci meja. Jika tidak segera ditanggulangi, dapat berakibat buruk bagi kesehatan siswa. 
Salah satu siswa sudah merasakan akibatnya. Ia dirawat di rumah sakit karena menderita diare. Menurut keterangan dokter, ada kuman penyakit yang terbawa  dalam makanan yang dibelinya. Beberapa temannya juga mengatakan bahwa siswa tersebut membeli makanan yang tidak dibungkus rapat sehingga lalat dengan bebas hinggap pada makanan yang dimakannya. 
Makanan yang terbuka sangat rentan terhadap penyakit. Kuman sangat mudah menempel pada makanan karena tidak ada pelindung makanan. Kuman penyakit memang dapat dibawa oleh lalat. Tangan yang kotor juga rentan dihinggapi kuman. Oleh sebab itu, sebaiknya men-cuci tangan dengan sabun sebelum menyentuh makanan.
Sampah yang menumpuk selain kotor, juga menjadi sarang binatang. Lalat dan nyamuk adalah contoh binatang yang menyenangi tempat-tempat kotor. Plastik yang ada di sungai dapat menimbulkan genangan air di musim hujan. Nyamuk akan hinggap dan bertelur di genangan itu. Akhirnya, nyamuk menyebarkan virus dengue, yaitu virus yang menyebabkan demam berdarah. 
Kesadaran akan pentingnya kebersihan di kalangan siswa harus ditanamkan sejak dini. Budaya membuang sampah pada tempatnya akan sangat berguna untuk mencegah penyebaran wabah penyakit. Kebersihan tempat makan juga harus diperhatikan karena berpengaruh besar terhadap kualitas makanan. 

Karangan argumentasi di atas mengungkap alasan me-ngenai pentingnya kebersihan. Ciri-ciri sebuah argumentasi terpapar jelas pada karangan tersebut. Argumentasi yang telah dituliskan tidak hanya mengungkap tentang pernyataan, tapi didukung dengan bukti dan alasan yang kuat.

Daftar Pustaka

Keraf, Gorys. 1994. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.
Keraf, Gorys. 2004. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustama Utama.
Semi, Atar. 2003. Menulis Efektif. Padang: Angkasa Raya.


Karangan Narasi


Narasi adalah suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu (Gorys Keraf, 2004: 136). Karangan yang termasuk jenis narasi, yakni karya fiksi, seperti novel, cerpen, dan roman. Jenis tulisan nonfiksi juga dapat disebut sebagai narasi jika menceritakan sebuah peristiwa dan proses terjadinya, contoh-nya berita, biografi, dan laporan perjalanan.
Karangan narasi merupakan wacana yang mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Oleh sebab itu, unsur yang paling penting pada narasi, yakni unsur perbuatan atau tindakan. Namun, jika narasi hanya menam-pilkan kejadian atau peristiwa maka akan sulit dibedakan dengan karangan deskripsi sehingga dapat ditambah unsur lain, yakni waktu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa karangan narasi mencakup dua unsur dasar, yakni perbuatan atau tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu.
Karangan berbentuk narasi memiliki ciri-ciri khusus. Ciri-ciri inilah yang membedakan karangan narasi dengan bentuk karangan lainnya. Beberapa ciri karangan narasi menurut Atar Semi (2003: 31), yakni sebagai berikut.
1. Berupa cerita tentang peristiwa atau pengalaman penulis.
2. Kejadian atau peristiwa yang disampaikan berupa peristiwa yang benar-benar terjadi, dapat berupa imajinasi, atau gabungan keduanya.
3. Berdasarkan konflik, tanpa konflik narasi menjadi kurang menarik.
4. Memiliki nilai estetika.
5. Menekankan susunan secara kronologis.
Berdasarkan tujuannya, narasi dibedakan menjadi dua, yakni narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Narasi ekspo-sitoris bertujuan untuk memperluas pengetahuan pembaca sesudah membaca kisah tersebut. Narasi ekspositoris menyampaikan informasi mengenai suatu kejadian yang didasarkan pada penalaran untuk mencapai kesepakatan rasional. Sementara narasi sugestif tujuan utamanya bukan memperluas pengetahuan seseorang, tetapi berusaha mem-beri makna atas peristiwa atau kejadian itu sebagai suatu pengalaman. Selain itu, narasi sugestif selalu melibatkan daya khayal atau imajinasi. Untuk lebih memahami mengenai karangan narasi, berikut disajikan contoh karangan narasi.

Liburan ini aku meminta kepada Ayah agar diizinkan berlibur ke rumah Nenek di desa. Awalnya, Ayah menolak dengan alasan aku akan merepotkan nenek.
“Yah, boleh ya, liburan nanti Andi berlibur ke rumah Nenek?” tanyaku.
“Tidak boleh!” Ayah menolak. “Kamu hanya akan merepotkan Nenek.”
“Andi janji, Yah. Andi tidak akan merepotkan Nenek,” kataku merayu Ayah. 
Setelah aku terus merengek, akhirnya Ayah bersedia mengantarku ke desa tempat Nenek tinggal. 
Ayah mengantarku dengan mobil tua keluaran tahun 1982. Hatiku sangat senang. Perjalanan ke desa sangat menyenangkan karena aku bertemu dengan para petani dan anak-anak yang bermain layang-layang. Namun, perjalanan tak semulus yang diharapkan. Mobil Ayah mogok di tengah perjalanan. 
“Kenapa mobilnya, Yah?” tanyaku. 
“Tidak tahu. Tiba-tiba mesinnya mati,” jawab Ayah sambil terus menstarter mobilnya, namun tak segera menyala. 
Ayah turun dan melihat mesin mobil. “Wah, harus segera dibawa ke bengkel. Ayah tidak membawa alat-alat untuk memperbaiki mobil ini.”
“Apa yang rusak, Yah?”
“Ayah tidak tahu.”
Aku merasa bersalah dengan Ayah. Gara-gara menuruti kemauanku untuk berlibur ke rumah Nenek, mobil Ayah jadi rusak. 
Ayah terpaksa menelepon jasa penderek mobil untuk menarik mobil Ayah ke bengkel. Aku dan Ayah menumpang mobil derek itu. 
Selama perjalanan, aku tidak banyak bicara. Tampak-nya, Ayah sangat marah kepadaku. Seandainya aku tak merengek meminta berlibur ke rumah Nenek, tentu mobil Ayah tak akan mogok. 
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk meminta maaf kepada Ayah. 
“Yah, maafkan Andi, ya. Gara-gara Andi, mobil Ayah rusak lagi,” kataku sambil menunduk. 
Ayah menatapku, lalu berkata “Kamu tidak salah, Andi. Mobil Ayah sudah saatnya diganti karena sudah terlalu tua.”
Keinginan berlibur ke desa pun harus batal. Akhirnya, aku kembali ke kota untuk berlibur di bengkel memperbaiki mobil Ayah. 

Karangan narasi tersebut merupakan pengalaman Andi yang ingin liburan ke desa, namun tidak terlaksana karena mobil ayahnya rusak. Karangan itu diawali dengan peristiwa sebelum berangkat dan dilanjutkan peristiwa yang terjadi selama perjalanan.


Daftar Pustaka

Keraf, Gorys. 1994. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.
Keraf, Gorys. 2004. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustama Utama.
Semi, Atar. 2003. Menulis Efektif. Padang: Angkasa Raya.

Karangan Deskripsi


Kata deskripsi berasal dari bahasa Latin “deskribere” yang berarti menggambarkan atau memberikan suatu hal. Karangan deskripsi menurut Ahmad Rofi’udin dkk. (2001: 117) adalah suatu bentuk karangan yang melukiskan suatu objek (berupa orang, benda, tempat, kejadian, dan sebagainya) dengan kata-kata dalam keadaan yang sebenarnya. Dalam karangan ini, penulis menunjukkan bentuk, rupa, suara, bau, rasa, suasana, situasi dari suatu objek. Penulis seakan-akan menghadirkan sesuatu ke hadapan pembaca sehingga seolah-olah pembaca dapat melihat, mendengar, meraba, dan merasakan objek yang dihadirkan oleh penulis.
Sama seperti karangan narasi, karangan deskripsi juga memiliki tujuan, yakni penulis menginginkan agar pembaca dapat memahami dan ikut merasakan kejadian seperti dalam tulisan. Sebagai suatu karangan, deskripsi juga memiliki beberapa ciri khusus. Ciri-ciri karangan deskripsi menurut Atar Semi (2003: 66), yakni sebagai berikut.
1. Karangan deskripsi memperlihatkan secara detail tentang suatu objek.
2. Lebih bersifat memengaruhi emosi dan membentuk imajinasi pembaca.
3. Menyangkut objek yang dapat diindra oleh panca indra sehingga objeknya berupa benda, alam, warna, dan manusia.
4. Penyampaian karangan deskripsi dengan gaya memikat dan pilihan kata yang menggugah.
5. Organisasi penyajian lebih umum menggunakan susunan ruang.
Karangan deskripsi yang bagus akan membuat pembaca seolah-olah terlibat dalam cerita. Bahkan, pembaca akan dapat merasa sebagai tokoh yang diceritakan. Apabila jalan ceritanya sedih, pembaca akan ikut merasakan ke-sedihan tersebut. Contoh karangan deskripsi dapat dibaca pada kutipan berikut.

Pasar yang sempit itu penuh dengan para penjual dan pembeli. Mereka berdesak-desakan. Bahkan, ada yang saling mendorong karena berebut untuk lewat. Suasananya juga sangat ramai karena banyak penjual yang menawar-kan dagangannya dengan suara keras.
Sesampainya di los daging dan ikan, orang-orang harus bersiap-siap menutup hidung karena bau amis yang menyebar ke mana-mana. Lalat-lalat beterbangan mengerumuni ikan dan daging yang diletakkan di meja. Namun, para pedagang sudah sepertinya terbiasa dengan bau amis ini.
“Ayo Bu, kita keluar, baunya amis,” rengek Dini yang mengikuti ibunya berbelanja ke pasar. Suara Dini agak sengau karena ia berbicara sambil menutup hidung. Dini tak tahan dengan bau amis. 
“Nanti, Sayang. Ibu ingin beli daging ayam dulu,” jawab ibunya menolak. 
Terpaksa Dini mengikuti ibunya menuju ke penjual daging ayam. Dini mengamati dengan saksama wajah penjual daging ayam itu. Seorang wanita yang tidak lelah bekerja. Ia memotong-motong ayam dengan pisau besar yang tajam. Setelah itu, ia menumpuknya menjadi be-berapa tumpukan. 
Ia memisahkan bagian daging ayam sesuai jenisnya. Kepala dengan kepala, sayap dengan sayap, dan kaki dengan kaki. Kemudian ia menumpuknya di meja yang sangat kotor. Meja itu hanya dilapisi plastik agar daging ayam tidak terkena kotoran di meja. 
“Daging ayam sekilo, Bu,” pesan ibu Dini pada penjual daging ayam. 
Ibu penjual mengambil beberapa daging ayam dan menimbangnya. Ibu Dini lalu mengeluarkan uang untuk membayarnya. Hati Dini lega setelah keluar dari los daging yang penuh bau amis itu. Ia pun mendesah panjang seusai menghirup udara segar di luar. 

Karangan deskripsi tersebut menceritakan kondisi sebuah pasar yang menjual aneka kebutuhan, termasuk daging dan ikan. Dini yang mengikuti ibunya belanja di pasar tidak tahan dengan bau amis. Gambaran Dini menutup hidung merupakan pencitraan bau agar pembaca seolah mencium bau amis yang dicium Dini. Pencitraan penglihatan, seperti suasana pasar yang ramai, tumpukan daging, serta penjual daging ayam akan menimbulkan kesan bahwa pembaca juga melihat semua kondisi yang dilihat Dini.

Daftar Pustaka

Rofiudin, Ahmad, dan Darmiyati Zuhdi. 2001. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Malang: Universitas Negeri Malang Press.
Semi, Atar. 2003. Menulis Efektif. Padang: Angkasa Raya.

Karangan Eksposisi

Karangan eksposisi adalah bentuk tulisan yang sering digunakan dalam menyampaikan uraian ilmiah dan tidak berusaha memengaruhi pendapat pembaca (Aceng Hasani, 2005: 30). Melalui karangan eksposisi, pembaca tidak dipaksa untuk menerima pendapat penulis. Dengan kata lain, pembaca dipersilakan untuk menolak atau menerima hal-hal yang disampaikan penulis.
Karangan ini bertujuan menyampaikan gagasan yang berupa fakta atau hasil pemikiran dengan maksud menerang-kan sesuatu, seperti masalah, manfaat, jenis, proses, atau langkah-langkah (Widyamartaya, 1992: 9–10). Topik yang diangkat dalam karangan ini berdasarkan data faktual, artinya suatu kondisi yang benar-benar terjadi, ada, dan bersifat historis. Karangan eksposisi memiliki beberapa ciri khusus seperti yang diungkapkan Aceng Hasani (2005: 31) sebagai berikut.
1. Penjelasannya bersifat informatif.
2. Pembahasan masalahnya bersifat objektif.
3. Penjelasannya disertakan bukti-bukti yang konkret.
4. Pembahasannya bersifat logis atau sesuai dengan penalaran.
Berdasarkan ciri-cirinya, karangan eksposisi termasuk karangan yang bersifat nonfiksi (ilmiah). Jadi, ada sumber atau fakta yang mendukung terbentuknya karangan. Sumber karangan ini dapat diperoleh dari pengalaman, hasil penga-matan, atau hasil penelitian. 
Jenis karangan eksposisi dapat berupa kisah per-juangan, bentuk struktur dan tugas organisasi, atau laporan. Untuk memperjelas uraian, karangan eksposisi dapat di-lengkapi dengan grafik maupun gambar. Agar semakin jelas, akan disampaikan contoh karangan eksposisi sebagai berikut.

Indonesia merupakan negara kepulauan. Jumlah pulau di Indonesia ada lebih dari 13 ribu yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Ada lima pulau besar yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kelima pulau itu meliputi Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Jawa merupakan pulau yang paling banyak dan padat penduduknya. Oleh sebab itu, banyak penduduk di Pulau Jawa pindah ke pulau lainnya. Perpindahan ini disebut transmigrasi. 
Transmigrasi adalah program pemerintah yang bertujuan untuk pemerataan penduduk. Hal ini dilakukan agar jumlah penduduk di Pulau Jawa tidak terlalu padat. Apabila dilihat pada peta, ukuran Pulau Jawa lebih kecil dibandingkan dengan keempat pulau besar lainnya. Jadi, jika jumlah penduduk di Pulau Kalimantan sangat sedikit, berarti masih banyak lahan yang kosong.
Selain Pulau Kalimantan, Putra Sumatra juga berpotensi menjadi daerah tujuan transmigran. Di sana lahannya sangat luas. Namun, juga tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang sedikit. Akibatnya, banyak lahan yang belum dapat digarap dengan baik. 

Karangan eksposisi tersebut menjelaskan transmigrasi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebagai paragraf pengantar untuk menuju ke paragraf inti, disampai-kan keadaan geografi Indonesia terlebih dahulu. Dengan demikian, pembaca memperoleh pengetahuan tentang keadaan Indonesia. Penjelasan ini dapat didukung dengan menunjukkan peta atau globe untuk mengetahui letak Negara Indonesia di dunia ini.
Pemaparan karangan tersebut juga dapat disertai dengan data atau diagram jumlah penduduk Indonesia dan penyebarannya di berbagai pulau. Hasil perkebunan yang menjadi ciri khas daerah tujuan transmigrasi juga dapat ditampilkan. Dengan mengetahui perbandingan jumlah penduduk dan hasil alam, alasan pemerintah mengadakan transmigrasi demi kesejahteraan rakyat akan lebih mudah dipahami pembaca.


Daftar Pustaka

Hasani, Aceng. 2005. Ihwal Menulis. Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Press.
Widyamarta, A. 1992. Seni Menuangkan Gagasan. Yogyakarta: Kanisius.



Selasa, 07 Januari 2020

Dasar-Dasar Kalimat (2)

Pelengkap dan Keterangan dalam Kalimat

1. Pelengkap
Pelengkap merupakan unsur kalimat yang berfungsi melengkapi informasi, mengkhususkan objek, dan melengkapi struktur kalimat. Sama halnya dengan objek, pelengkap juga berada setelah unsur predikat. Oleh sebab itu, pembaca kerap dibingungkan antara objek dan pelengkap. Padahal, kalimat berobjek atau berpelengkap sebetulnya tidak sulit untuk dibedakan. Berikut uraian untuk mengetahui perbedaan kalimat berobjek atau berpelengkap.

Kalimat (1) dikatakan sebagai kalimat berobjek, sedangkan kalimat (2) disebut kalimat berpelengkap. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan pemasifan. Berikut bentuk pemasifannya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, objek halaman pada kalimat (1) dapat menduduki fungsi subjek ketika dipasifkan. Sementara itu, orang asli pada kalimat (2) tidak dapat diubah posisinya menjadi subjek. Jika hal itu dipaksakan maka kalimatnya tidak berterima. Dengan demikian, pelengkap adalah unsur yang tidak dapat dipasifkan. Hal ini berbeda dengan objek yang dapat selalu dipasifkan. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara objek dan pelengkap. 

Ciri-ciri pelengkap
- Bukan unsur utama, tetapi kalimat tidak akan jelas dan tidak lengkap informasinya tanpa pelengkap.
- Terletak di belakang predikat yang bukan kata kerja transitif, misalnya sebagai berikut.



2. Keterangan
Keterangan adalah unsur yang berfungsi menerangkan keseluruhan unsur dalam kalimat. Keterangan memiliki mobilitas (pergerakan yang tinggi) dalam kalimat. Artinya, keterangan dapat diletakkan hampir di mana saja. Namun, ada beberapa jenis kalimat yang mengharuskan posisi tertentu untuk keterangan. Keterangan pada umumnya juga dapat dihilangkan tanpa membuat kalimat sumbang. Berikut beberapa contohnya.


Fungsi keterangan pada contoh tersebut ditempati kata kemarin. Kata kemarin dapat dipindahkan ke depan dan ke tengah tanpa mengubah makna. Namun, keterangan tidak pernah dapat ditempatkan di antara predikat dan objek. Pernyataan itu dibuktikan dengan kalimat berikut.

Kalimat di atas tidak berterima dan tidak bermakna karena menyalahi ketatabahasaan. Jadi, keterangan memang bermobilitas tinggi, tetapi memiliki batasan. Tidak semua posisi dapat ditempati keterangan. Ada posisi yang tidak dapat ditempati, yaitu di antara predikat dan objek.
Keterangan pada dasarnya berfungsi memberikan informasi tambahan tentang bagian kalimat yang lain. Karena hanya bersifat ‘tambahan’, keterangan dapat dihilangkan tanpa menghilangkan inti kalimat. Akan tetapi, adakalanya keterangan wajib hadir dalam kalimat tertentu. Berikut contohnya.


Keterangan pada kalimat (1), yakni di dapur dapat dihilangkan. Apabila frasa itu dihilangkan, kalimat (1) tetap berterima. Sebaliknya, keterangan pada kalimat (2) tidak dapat dihilangkan karena tipe predikatnya memerlukan kata depan (dari). Dengan kata lain, keterangan wajib hadir dalam kalimat-kalimat yang predikatnya harus menyertakan keterangan. Umumnya kalimat seperti itu memiliki predikat berupa kata tinggal, terbuat, berasal, atau bertemu.

Ciri-ciri keterangan
- Bukan unsur utama kalimat.
- Keberadaannya bersifat manasuka, bisa awal, tengah, atau akhir kalimat.
- Umumnya didahului oleh kata depan di, ke, dari, ketika, dan tentang.


Daftar Pustaka

Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Sugono, Dendy. 2008. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jilid 2. Edisi Kelima. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sugono, Dendy. 2009. Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.







Jumat, 03 Januari 2020

Dasar-Dasar Kalimat

Dasar-Dasar Kalimat

Kalimat merupakan satuan bahasa terkecil yang mengungkapkan kesatuan pikir-an. Kalimat dalam bahasa lisan diawali dan diakhiri dengan kesenyapan. Namun, kalimat dalam bahasa tulis selalu diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca (.), (?), atau (!). Berdasarkan uraian tersebut, kalimat diartikan sebagai satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi, dan secara aktual maupun potensial terdiri atas klausa.
Kalimat pada umumnya mempunyai struktur atau unsur-unsur yang sifatnya relatif tetap. Unsur-unsur tersebut ada yang disebut subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Kelima unsur tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam kalimat.

Subjek
Subjek adalah hal yang dibicarakan dalam sebuah kalimat. Artinya, subjek merupakan pokok kalimat. Sayangnya, subjek kerap diartikan sebagai ‘orang yang melakukan’. Padahal, pengertian tersebut tidaklah selalu tepat. Hal itu dibuktikan melalui beberapa kalimat berikut.


Subjek pada kalimat (1) adalah ayah. Dalam hal ini, ia memang ‘orang yang melakukan’, yaitu membaca. Namun, subjek pada kalimat (2) adalah kucingku. Dalam kasus ini, kucing tidak dapat disebut ‘orang’ yang melakukan. Begitu pun halnya dengan tsunami pada kalimat (3). Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan satu hal tentang subjek. Subjek dapat berupa apa saja, asal tetap berperan sebagai pelaku. Jadi, hewan dan benda mati juga dapat menjadi subjek. Artinya, subjek adalah ‘pelaku’, bukan ‘orang yang melakukan’.

Posisi subjek
Subjek pada umumnya terletak di awal kalimat. Namun, posisi subjek dalam bahasa Indonesia sebetulnya bukan hanya itu. Posisi subjek bisa saja berada di akhir atau di tengah-tengah kalimat. Berikut contohnya.



Ciri-ciri subjek
- Jawaban apa atau siapa.
- Didahului kata bahwa.
- Berupa kata atau frasa benda (nomina).
- Disertai kata ini, atau itu.
- Disertai pewatas yang.
- Kata sifat didahului kata si atau sang: si cantik, si kecil, sang perkasa.
- Tidak didahului preposisi: di, dalam, pada, kepada, bagi, untuk, dan dari.
- Tidak dapat diingkarkan dengan kata tidak, tetapi dapat dengan kata bukan.

Predikat
Predikat adalah bagian kalimat yang memberi penjelasan tentang subjek. Dalam banyak penjelasan tentang predikat, sering dikatakan bahwa predikat berupa kata kerja. Sering disebutkan pula bahwa predikat merupakan ‘pekerjaan yang dilakukan subjek’. Namun, hal itu tidaklah tepat. Berikut uraiannya.



Predikat kalimat (1), yakni memasak. Kata itu memang merupakan kata kerja. Namun, tidak demikian dengan kalimat (2) dan (3). Predikat kalimat (2) yaitu cantik. Kata cantik bukan termasuk kata kerja, tetapi kata sifat. Kasus serupa juga terjadi pada kalimat (3). Guru sebagai predikat bukanlah kata kerja, melainkan kata benda. Jadi, dapat disimpulkan bahwa predikat bukanlah ‘pekerjaan’ yang dilakukan subjek. Lebih tepatnya, predikat menerangkan subjek. Berdasarkan uraian tersebut diketahui pula bahwa posisi predikat langsung mengikuti subjek.

Ciri-ciri predikat
- Jawaban mengapa, dan bagaimana.
- Dapat diingkarkan dengan tidak atau bukan.
- Dapat didahului keterangan aspek: akan, sudah, sedang, selalu, atau hampir.
- Dapat didahului keterangan modalitas: sebaiknya, seharusnya, seyogyanya, mesti, atau selayaknya.
- Tidak didahului kata yang.
- Didahului kata adalah, ialah, yaitu, yakni.
- Predikat dapat berupa kata benda, kata kerja, kata sifat, atau bilangan.

Objek
Objek merupakan keterangan predikat. Oleh sebab itu, letak objek langsung mengikuti predikat. Hal tersebut juga terjadi dalam kalimat yang dipasifkan. Alasannya, objek dapat menduduki fungsi subjek dalam kalimat pasif. Contohnya adalah:


Berdasarkan contoh tersebut, terbukti bahwa objek selalu berada setelah predikat. Kalimat (2) merupakan hasil pemasifan kalimat (1). Pada kalimat (2), posisi objek berubah menjadi Amira (awalnya, Amira menduduki fungsi subjek). Lantas, bunga berubah fungsi menjadi subjek (awalnya objek).
Kehadiran objek dalam kalimat sebetulnya bergantung pada jenis predikatnya. Unsur objek bersifat wajib jika predikat suatu kalimat mem-butuhkan sasaran. Sebaliknya, objek tidak perlu hadir apabila predikat kalimat tidak memerlukan sasaran. Dengan demikian, kehadiran objek dalam suatu kalimat dapat diperlukan atau tidak diperlukan. Contohnya sebagai berikut.



Kedua contoh kalimat tersebut mengharuskan unsur objek hadir. Jika tidak ada objek, kalimat itu tidak akan berterima. Apabila kalimat (3) dihilangkan objeknya maka akan menjadi ibu membuat. Kalimat ini tentunya akan menimbulkan pertanyaan, “membuat apa?” Kasus serupa juga akan terjadi pada kalimat (4). Jika objek kalimat (4) dihilangkan maka akan menjadi Dinda menemukan. Lantas, pertanyaan, “menemukan apa?” pun timbul.

Ciri-ciri objek
- Berupa kata benda.
- Tidak didahului kata depan.
- Mengikuti secara langsung atau di belakang predikat transitif.
- Jawaban apa atau siapa yang terletak di belakang predikat transitif.
- Dapat menduduki fungsi subjek apabila kalimat itu dipasifkan.
- Objek selalu dapat digantikan dengan kata ganti-nya.
- Objek dapat berbentuk kata, frasa, atau klausa.

Demikian pembahasan seputar kalimat. Mengenai unsur kalimat 'pelengkap' dan 'keterangan' akan saya bahas dalam postingan saya selanjutnya.

Mohon dikoreksi jika ada kesalahan. Terima kasih.

Daftar Pustaka

Alwi, Hasan dan Dendy Sugono (Ed.). 2002. Telaah Bahasa dan Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Hs., Widjono. 2007. Bahasa Indonesia: Mata Kuliah Pengembangan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo.
Kridalaksana, Harimurti. 2007. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sugono, Dendy. 2008. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jilid 2. Edisi Kelima. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sugono, Dendy. 2009. Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.




Perubahan Makna Kata

Perubahan Makna

Bahasa yang aktif digunakan oleh masyarakat pasti berkembang atau berubah. Perubahan yang terjadi dapat mencakup perkembangan sistem, pola, atau kosakata-nya. Bahkan, makna (arti) kata-katanya pun dapat berubah. Bentuk perubahan makna itu dapat berupa perluasan, penyempitan, peninggian, perendahan, pertukaran tanggapan, atau persamaan sifat.

Perluasan Makna
Perluasan makna disebut juga generalisasi. Perluasan makna, yaitu perubahan makna kata yang semula cakupan maknanya lebih sempit dari sekarang. Artinya, penggunaan kata pada saat sekarang lebih luas. Berikut kata-kata yang meluas maknanya.



Penyempitan Makna
Penyempitan makna kerap disebut spesialisasi. Penyempitan makna ialah perubahan makna kata yang semula cakupan maknanya luas kini menjadi lebih sempit. Beberapa bentuk penyempitan makna, yakni sebagai berikut.




Ameliorasi
Ernawati Waridah (2008: 303) menjelaskan kata ameliorasi berasal dari bahasa Latin melor yang artinya ‘lebih baik’. Jadi, ameliorasi adalah perubahan makna kata yang menempatkan arti baru lebih tinggi (baik) dari makna asalnya. Berdasarkan pengertian tersebut, makna baru yang muncul tidak berbeda dengan makna asalnya. Bentuk-bentuk ameliorasi, yakni sebagai berikut.




Peyorasi
Ernawati Waridah (2008: 304) menyebutkan kata peyorasi berasal dari bahasa Latin pejor yang artinya ‘jelek’. Istilah tersebut kebalikan dari ameliorasi. Jadi, peyorasi merupakan perubahan makna yang menjadikan arti baru bernilai lebih rendah (jelek) dari makna asalnya. Sejalan dengan pengertian itu, makna baru yang muncul juga tidak berbeda dengan makna asal layaknya ameliorasi. Contoh peyorasi, antara lain sebagai berikut.



Berdasarkan penjelasan tersebut, ameliorasi dan peyorasi berkaitan erat dengan sopan santun yang dituntut dalam masyarakat bahasa. Ada kata-kata yang boleh diucapkan secara terang-terangan. Ada pula kata-kata yang harus disembunyikan. Oleh karena itu, ameliorasi dan peyorasi saling berhubungan. Berikut wujud hubungan yang dimaksud.


Asosiasi
Asosiasi adalah perubahan makna yang terjadi akibat persamaan sifat, keadaan, atau ciri-ciri antara makna lama dan makna baru. Asosiasi dapat pula dikatakan sebagai tautan dalam ingatan pada orang lain atau benda. Bentuk-bentuk asosiasi, antara lain sebagai berikut. 



Sinestesia
Sinestesia merupakan perubahan makna yang berhubungan dengan alat        indra manusia. Tiap-tiap alat indra manusia hakikatnya mempunyai fungsi masing-masing untuk menangkap semua hal yang terjadi. Hal-hal yang berkaitan dengan      rasa manis, asin, atau pahit ditangkap dengan indra pengecap, yakni lidah. Hal-hal yang berkenaan dengan bunyi ditangkap melalui indra pendengar berupa telinga. Sementara itu, hal-hal terang dan gelap dapat ditangkap menggunakan indra penglihatan berupa mata.
Pemakaian alat indra tersebut kerap dipertukarkan terkait dengan perkembangan penggunaan bahasa. Sebagai contoh, rasa pedas seharusnya ditangkap oleh indra pengecap. Akan tetapi, gejala itu sering ditangkap oleh indra pendengar dalam penggunaan bahasa. Hal itu tercermin dari ujaran kata-katanya sangat pedas. Sebaliknya, kata manis yang sewajarnya ditangkap indra pengecap justru ditangkap dengan indra penglihatan. Hal itu terjadi dalam ujaran aksinya sangat manis.
Bentuk-bentuk pertukaran yang telah dijabarkan itulah yang dikatakan sebagai sinestesia. Jadi, sinestesia adalah perubahan makna yang terjadi sebagai akibat pertukaran tanggapan dua indra yang berbeda. Contoh-contoh sinestesia lainnya, antara lain sebagai berikut.
- Suaranya berat sekali. (indra pendengaran, indra perasa)
- Perangainya memang lembut. (indra penglihatan, indra perasa)
- Ia tampak manis saat memakai topi itu. (indra penglihatan, indra pengecap)
- Pengalaman pahit sudah dia lalui dengan sabar. (indra perasa, indra pengecap)

Mohon dikoreksi jika ada kesalahan. Terima kasih.

Daftar Pustaka

Alwi, Hasan dan Dendy Sugono (Ed.). 2002. Telaah Bahasa dan Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sugono, Dendy. 2008. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jilid 2. Edisi Kelima. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sugono, Dendy. 2009. Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Waridah, Ernawati. 2008. EYD dan Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Jakarta: Kawan Pustaka.


Ejaan Bahasa Indonesia


Ejaan Bahasa Indonesia

Kali ini saya akan membahas singkat tentang ‘ejaan’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018), ejaan adalah kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca. Indonesia sudah mengalami beberpa kali perubahan ejaan. Mari kita bahas lebih lanjut.

1. Ejaan Ophuijsen
Ejaan Ophuijsen merupakan sistem ejaan yang dianggap sebagai pembakuan bahasa Melayu. Ejaan tersebut disusun semasa pemerintahan Belanda menduduki Indonesia. Menurut Lukman Ali (2000: 5), usaha penetapan itu dilakukan Charles Adriaan van Ophuijsen setelah kurang lebih tiga abad bahasa Melayu berkembang.
Kala itu bahasa Melayu di Indonesia memang sudah mengalami kemajuan, terlebih sejak masuknya bangsa Portugis. Bahasa Melayu telah berkembang menjadi bermacam dialek, terutama di kota-kota pelabuhan (pusat perdagangan). Penulisan-nya bahkan sudah beralih ke huruf Latin meskipun masih terbatas. Kemajuan pun semakin ditandai dengan daftar kosakata yang disusun oleh Antonio Pigafetta. Namun, kemajuan tersebut masih dirasa kurang sempurna oleh van Ophuijsen.
Van Ophuijsen pada akhirnya menyusun suatu sistem ejaan yang baru bagi bahasa Melayu. Penyusunan ejaan itu bertujuan untuk menyeragamkan ejaan bahasa Melayu yang memiliki banyak dialek. Selama penyusunannya, van Ophuijsen dibantu Soetan Ma’moer yang bergelar Engku Nawawi dan Mohammad Taib Soetan Ibrahim. Hasilnya, tahun 1901 pemerintah Belanda meresmikan ejaan itu dalam wujud Kitab Logat Melajoe. Beberapa ketetapan yang termuat dalam buku tersebut, yakni sebagai berikut.
  • Huruf j digunakan untuk menuliskan kata-kata, seperti jang, pajah, dan sajang.
  • Huruf dj, oe, dan tj dianggap sebagai satu ujaran. Sebagai contoh, huruf dj digunakan untuk menulis kata djarak, huruf oe untuk kata goeroe, dan huruf tj untuk kata tjoetji.
  • Huruf ch dipakai untuk menulis kata, misalnya achir.
  • Huruf nj digunakan untuk menulis kata-kata, seperti njamoek, njioer, atau njaring.
  • Huruf sj digunakan untuk menulis kata, misalnya sjarat.
  • Tanda apostrof dipakai untuk menulis kata-kata seperti ma’moer, ’akal, atau ta.
2. Ejaan Soewandi
Seiring perkembangan bahasa, Ejaan Ophuijsen dinilai memiliki banyak kekurangan. Pasalnya, pemakaian tanda-tanda diakritik (tanda trema) seperti pada kata ra’jat dianggap tidak praktis. Oleh sebab itu, ejaan itu harus disempurnakan (Lukman Ali, 2000: 7).
Keinginan menyempurnakan Ejaan Ophuijsen sebetulnya tidak dapat dipisahkan dari dua peristiwa penting. Peristiwa penting pertama, yakni Sumpah Pemuda 1928. Pada peristiwa itu, masyarakat Indonesia mengikrarkan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa yang disebut sebagai bahasa Indonesia kala itu tidak lain bahasa Melayu. Atas dasar peristiwa itulah para pemakai dan ahli bahasa menginginkan kepraktisan pada bahasa Melayu sehingga mudah dipelajari dan digunakan oleh masyarakat.
Peristiwa kedua, yaitu Kongres Bahasa Indonesia I. Kongres tersebut berlangsung pada 25–28 Juni 1938 di Solo, Jawa Tengah. Dalam kongres itu Ki Hajar Dewantara menyatakan tentang pemilihan bahasa Melayu Riau sebagai bahasa Indonesia.
Berdasarkan Kongres Bahasa Indonesia tersebut akhirnya penyusunan ejaan baru mulai dilakukan. Penyusunan itu diprakarsai RM. Soewandi. Dasar penyusunannya pun menggunakan bahasa Melayu Riau. Pemilihan bahasa Melayu Riau sebagai bahasa Indonesia karena bahasa tersebut memiliki empat keunggulan seperti berikut.
  • Bahasa Melayu Riau dianggap sebagai bahasa yang netral sekalipun penuturnya tidak sebanyak bahasa Jawa. Fakta bahwa suku Jawa merupakan suku dengan jumlah terbanyak memang tidak dapat dielakkan. Namun, hal itu tidak serta-merta membuat bahasa Jawa diangkat menjadi bahasa Indonesia. Pasalnya, jika bahasa Jawa di-angkat maka dikhawatirkan suku-suku bangsa lainnya merasa terjajah oleh suku Jawa. Oleh karena itu, dipilihlah bahasa Melayu Riau.
  • Pengguna bahasa Melayu sangat luas, bukan hanya di Indonesia. Akan tetapi, telah menyebar ke Malaysia, Brunei, dan Singapura.
  • Bahasa Melayu Riau mudah dipelajari karena tidak mengenal tingkatan bahasa. Pasalnya tingkatan bahasa pada suatu bahasa di-khawatirkan akan menimbulkan kesan negatif jika salah penerapannya.
  • Bahasa Melayu Riau dinilai masih murni karena suku Melayu asli berasal dari Riau. Sementara itu, bahasa Melayu lainnya, seperti Melayu Pontianak, Banjarmasin, atau Samarinda sudah terpengaruh bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu Ke, atau bahasa lainnya.

Atas empat alasan itulah bahasa Melayu Riau diangkat sebagai dasar ejaan yang baru. Ejaan baru itu resmi digunakan sembilan tahun kemudian dan terwujud dalam sebuah Putusan Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 15 April 1947. Ejaan itu lantas dikenal sebagai Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik (Lukman Ali, 2000: 7). Dalam ejaan tersebut, ada lima hal dari Ejaan Ophuijsen yang diperbarui. Kelima hal itu, yakni sebagai berikut.
  • Huruf oe diganti menjadi huruf u seperti pada kata-kata guru, itu, umar, dan lain-lain.
  • Bunyi hamzah dan sentak tidak lagi ditulis dengan tanda (’), melainkan dengan huruf k. Contoh penulisannya seperti pada kata-kata tak, pak, dan rakyat.
  • Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, misalnya pada kata kanak2, rata2, jalan2.
  • Huruf é dan e tidak dibedakan, misalnya kata ekor dan empat.
  • Awalan di dan kata depan di ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, misalnya pada kata dibawa dan ditempat.
3. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)


EYD diresmikan pada 16 Agustus 1972 oleh Presiden Soeharto. Peresmian itu didasarkan pada Putusan Presiden No. 57 Tahun 1972. Sejak itu hingga sekarang EYD terus dimasyarakatkan.
Penetapan EYD sebagai ejaan bahasa Indonesia yang paling baik melalui proses yang panjang. Proses awal penyusunan EYD bertolak dari Ejaan Soewandi yang di-tetapkan tahun 1947. Ejaan tersebut dirasa memiliki sejumlah kekurangan. Oleh karena itu, ejaan itu perlu diperbaiki. Ide untuk mengadakan perubahan ejaan lagi semakin di-dukung dengan peristiwa pemulihan kedaulatan Republik Indonesia tahun 1949. Namun, ide tersebut secara nyata baru muncul dalam Kongres Bahasa Indonesia II   di Medan tahun 1954. Kongres Bahasa Indonesia II memutuskan tiga hal untuk dijadi-kan dasar penyusunan ejaan yang baru. Ketiga hal itu dapat dilihat pada majalah Bahasa dan Kesusastraan Seri Khusus No. 9 Tahun 1972 (dalam Lukman Ali, 2000: 8) yakni sebagai berikut. 
· Ejaan sedapat-dapatnya menggambarkan satu fonem dengan satu huruf.
· Penetapan ejaan hendaknya dilakukan oleh suatu badan yang kompeten.
· Ejaan itu hendaknya praktis, tetapi ilmiah.
Keputusan kongres itu pun ditindaklanjuti suatu panitia ejaan yang disahkan pemerintah. Ketua panitia itu adalah Prijono yang saat itu menjabat sebagai dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Tugas panitia itu pun selesai pada tahun 1957. Hasilnya, sebuah konsep sistem ejaan baru yang disebut Ejaan Pembaharuan.
Sementara itu, para utusan Persekutuan Tanah Melayu (PTM) yang turut hadir dalam Kongres Bahasa Indonesia II rupanya terilhami oleh kongres tersebut. Mereka lantas mengadakan kongres bahasa di Singapura tahun 1956. Dalam kongres itu, dicetuskanlah suatu konsep untuk menyatukan Ejaan Bahasa Melayu di Semenanjung Melayu dengan Ejaan Bahasa Indonesia di Indonesia.
Perkembangan berikutnya, disetujuilah perjanjian persahabatan antara Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu (PTM). Atas dasar perjanjian itu, dibentuklah panitia bersama Indonesia–Melayu. Panitia tersebut akhirnya menghasilkan suatu konsep ejaan bersama yang diberi nama Ejaan Melindo (Ejaan Melayu–Indonesia).
Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat untuk meresmikan Ejaan Melindo selambat-lambatnya bulan Januari 1962. Sayangnya, kesepakatan itu urung terwujud karena adanya konfrontasi antara kedua negara. Terlebih lagi saat itu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) mengemukakan ketidak-setujuannya atas konsep Ejaan Melindo.
Akhirnya pada tahun 1966 LBK yang diketuai Anton M. Moeliono mengusulkan sebuah konsep baru. Konsep tersebut dipakai sebagai ganti konsep Melindo. Panitia itu lantas disahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1967. Melalui panitia itu pula pihak Indonesia menyampaikan kepada Malaysia keberatan terhadap konsep Melindo dengan alasan ketidakpraktisan karena adanya huruf baru. Keberatan itu pun diterima oleh pihak Malaysia dalam sebuah perundingan di Kuala Lumpur.
Sejak perundingan itu, konsep LBK terus disusun dengan sungguh-sungguh. Bentuk kesungguhannya tampak dari diadakannya Seminar Bahasa Indonesia tahun 1968 di Jakarta. Diskusi kebahasaan juga dilakukan setahun berikutnya, yakni tahun 1969 di Jakarta dan Makassar. Akhirnya, konsep LBK itu pun diterima dalam Seminar Bahasa Indonesia di Puncak tahun 1972.
Sesudah itu, mulailah kembali usaha untuk memasyarakatkan sistem ejaan baru tersebut. Ejaan yang berdasarkan konsep LBK itu lantas disebut Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Penyebutan itu didasari atas tujuan disusunnya ejaan baru, yakni menyempurnakan ejaan-ejaan bahasa Indonesia sebelumnya, terutama konsep Melindo. 
Pemasyarakatan EYD rupanya bukan perkara mudah. Kala itu masih banyak kalangan masyarakat belum bersedia menerima konsep EYD. Mereka menolak ejaan baru itu karena menganggap ejaan bahasa Indonesia itu dipengaruhi, bahkan meniru ejaan Malaysia. Namun, hal itu tidak membuat para ahli bahasa putus asa. Mereka justru gencar menyebarkan ejaan tersebut ke berbagai media massa. Bahkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, Mashuri turut memperjuangkan EYD dengan sepenuh tenaga. Berkat Mashuri pulalah EYD diresmikan oleh Presiden.
Sesudah diresmikan Presiden, EYD barulah dapat diterima masyarakat. Usai itu, terjadilah hubungan kembali antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, sebuah kesepakatan yang disebut Komunike Bersama terwujud. Dalam kesepakatan itu, diputuskanlah ketetapan ejaan masing-masing, yakni Ejaan Malaysia dan EYD.

4. PUEBI
Sekarang, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menerbitkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Pedoman ini disusun untuk menyempurnakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEYD). Pedoman ini diharapkan dapat mengakomodasi perkembangan bahasa Indonesia yang makin pesat. Pedoman ini merupakan edisi keempat berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tanggal 26 November 2016.  Silakan baca lebih lengkap pada tautan berikut.

Mohon dikoreksi jika ada kesalahan. Terima kasih.

Daftar Pustaka

Hs., Widjono. 2007. Bahasa Indonesia: Mata Kuliah Pengembangan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo.
Lukman, Ali. 2000. Ikhtisar Sejarah Ejaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Wariah, Ernawati. 2008. EYD dan Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Jakarta: Kawan Pustaka.

Siklus Air

Proses Siklus Air Siklus air adalah perputaran air secara terus-menerus dari bumi ke atmosfer dan kembali ke bumi. Siklus air terjadi melalu...