Ejaan Bahasa Indonesia
Kali ini
saya akan membahas singkat tentang ‘ejaan’. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2018), ejaan adalah kaidah
cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk
tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca. Indonesia sudah
mengalami beberpa kali perubahan ejaan. Mari kita bahas lebih lanjut.
1. Ejaan Ophuijsen
Ejaan Ophuijsen
merupakan sistem ejaan yang dianggap sebagai pembakuan bahasa Melayu. Ejaan
tersebut disusun semasa pemerintahan Belanda menduduki Indonesia. Menurut
Lukman Ali (2000: 5), usaha penetapan itu dilakukan Charles Adriaan van
Ophuijsen setelah kurang lebih tiga abad bahasa Melayu berkembang.
Kala itu
bahasa Melayu di Indonesia memang sudah mengalami kemajuan, terlebih sejak
masuknya bangsa Portugis. Bahasa Melayu telah berkembang menjadi bermacam
dialek, terutama di kota-kota pelabuhan (pusat perdagangan). Penulisan-nya
bahkan sudah beralih ke huruf Latin meskipun masih terbatas. Kemajuan pun
semakin ditandai dengan daftar kosakata yang disusun oleh Antonio Pigafetta.
Namun, kemajuan tersebut masih dirasa kurang sempurna oleh van Ophuijsen.
Van
Ophuijsen pada akhirnya menyusun suatu sistem ejaan yang baru bagi bahasa
Melayu. Penyusunan ejaan itu bertujuan untuk menyeragamkan ejaan bahasa Melayu
yang memiliki banyak dialek. Selama penyusunannya, van Ophuijsen dibantu Soetan
Ma’moer yang bergelar Engku Nawawi dan Mohammad Taib Soetan Ibrahim. Hasilnya,
tahun 1901 pemerintah Belanda meresmikan ejaan itu dalam wujud Kitab Logat
Melajoe. Beberapa ketetapan yang termuat dalam buku tersebut, yakni sebagai
berikut.
- Huruf j digunakan untuk menuliskan
kata-kata, seperti jang, pajah, dan sajang.
- Huruf dj, oe, dan tj dianggap
sebagai satu ujaran. Sebagai contoh, huruf dj digunakan untuk menulis kata
djarak, huruf oe untuk kata goeroe, dan huruf tj untuk kata tjoetji.
- Huruf ch dipakai untuk menulis kata,
misalnya achir.
- Huruf nj digunakan untuk menulis
kata-kata, seperti njamoek, njioer, atau njaring.
- Huruf sj digunakan untuk menulis
kata, misalnya sjarat.
- Tanda apostrof dipakai untuk menulis kata-kata seperti ma’moer, ’akal, atau ta.
2. Ejaan Soewandi
Seiring
perkembangan bahasa, Ejaan Ophuijsen dinilai memiliki banyak kekurangan.
Pasalnya, pemakaian tanda-tanda diakritik (tanda trema) seperti pada kata
ra’jat dianggap tidak praktis. Oleh sebab itu, ejaan itu harus disempurnakan
(Lukman Ali, 2000: 7).
Keinginan
menyempurnakan Ejaan Ophuijsen sebetulnya tidak dapat dipisahkan dari dua
peristiwa penting. Peristiwa penting pertama, yakni Sumpah Pemuda 1928. Pada
peristiwa itu, masyarakat Indonesia mengikrarkan bahasa persatuan, yaitu bahasa
Indonesia. Bahasa yang disebut sebagai bahasa Indonesia kala itu tidak lain
bahasa Melayu. Atas dasar peristiwa itulah para pemakai dan ahli bahasa
menginginkan kepraktisan pada bahasa Melayu sehingga mudah dipelajari dan
digunakan oleh masyarakat.
Peristiwa
kedua, yaitu Kongres Bahasa Indonesia I. Kongres tersebut berlangsung pada
25–28 Juni 1938 di Solo, Jawa Tengah. Dalam kongres itu Ki Hajar Dewantara
menyatakan tentang pemilihan bahasa Melayu Riau sebagai bahasa Indonesia.
Berdasarkan
Kongres Bahasa Indonesia tersebut akhirnya penyusunan ejaan baru mulai
dilakukan. Penyusunan itu diprakarsai RM. Soewandi. Dasar penyusunannya pun
menggunakan bahasa Melayu Riau. Pemilihan bahasa Melayu Riau sebagai bahasa
Indonesia karena bahasa tersebut memiliki empat keunggulan seperti berikut.
- Bahasa Melayu Riau dianggap sebagai bahasa yang netral sekalipun penuturnya tidak sebanyak bahasa Jawa. Fakta bahwa suku Jawa merupakan suku dengan jumlah terbanyak memang tidak dapat dielakkan. Namun, hal itu tidak serta-merta membuat bahasa Jawa diangkat menjadi bahasa Indonesia. Pasalnya, jika bahasa Jawa di-angkat maka dikhawatirkan suku-suku bangsa lainnya merasa terjajah oleh suku Jawa. Oleh karena itu, dipilihlah bahasa Melayu Riau.
- Pengguna bahasa Melayu sangat luas, bukan hanya di Indonesia. Akan tetapi, telah menyebar ke Malaysia, Brunei, dan Singapura.
- Bahasa Melayu Riau mudah dipelajari karena tidak mengenal tingkatan bahasa. Pasalnya tingkatan bahasa pada suatu bahasa di-khawatirkan akan menimbulkan kesan negatif jika salah penerapannya.
- Bahasa Melayu Riau dinilai masih murni karena suku Melayu asli berasal dari Riau. Sementara itu, bahasa Melayu lainnya, seperti Melayu Pontianak, Banjarmasin, atau Samarinda sudah terpengaruh bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu Ke, atau bahasa lainnya.
Atas empat alasan itulah bahasa Melayu Riau diangkat sebagai dasar ejaan yang baru. Ejaan baru itu resmi digunakan sembilan tahun kemudian dan terwujud dalam sebuah Putusan Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 15 April 1947. Ejaan itu lantas dikenal sebagai Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik (Lukman Ali, 2000: 7). Dalam ejaan tersebut, ada lima hal dari Ejaan Ophuijsen yang diperbarui. Kelima hal itu, yakni sebagai berikut.
- Huruf oe diganti menjadi huruf u seperti pada kata-kata guru, itu, umar, dan lain-lain.
- Bunyi hamzah dan sentak tidak lagi ditulis dengan tanda (’), melainkan dengan huruf k. Contoh penulisannya seperti pada kata-kata tak, pak, dan rakyat.
- Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, misalnya pada kata kanak2, rata2, jalan2.
- Huruf é dan e tidak dibedakan, misalnya kata ekor dan empat.
- Awalan di dan kata depan di ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, misalnya pada kata dibawa dan ditempat.
3. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
EYD diresmikan pada 16 Agustus 1972 oleh Presiden Soeharto. Peresmian itu didasarkan pada Putusan Presiden No. 57 Tahun 1972. Sejak itu hingga sekarang EYD terus dimasyarakatkan.
Penetapan EYD sebagai ejaan bahasa Indonesia yang paling baik melalui proses yang panjang. Proses awal penyusunan EYD bertolak dari Ejaan Soewandi yang di-tetapkan tahun 1947. Ejaan tersebut dirasa memiliki sejumlah kekurangan. Oleh karena itu, ejaan itu perlu diperbaiki. Ide untuk mengadakan perubahan ejaan lagi semakin di-dukung dengan peristiwa pemulihan kedaulatan Republik Indonesia tahun 1949. Namun, ide tersebut secara nyata baru muncul dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan tahun 1954. Kongres Bahasa Indonesia II memutuskan tiga hal untuk dijadi-kan dasar penyusunan ejaan yang baru. Ketiga hal itu dapat dilihat pada majalah Bahasa dan Kesusastraan Seri Khusus No. 9 Tahun 1972 (dalam Lukman Ali, 2000: 8) yakni sebagai berikut.
· Ejaan sedapat-dapatnya menggambarkan satu fonem dengan satu huruf.
· Penetapan ejaan hendaknya dilakukan oleh suatu badan yang kompeten.
· Ejaan itu hendaknya praktis, tetapi ilmiah.
Keputusan kongres itu pun ditindaklanjuti suatu panitia ejaan yang disahkan pemerintah. Ketua panitia itu adalah Prijono yang saat itu menjabat sebagai dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Tugas panitia itu pun selesai pada tahun 1957. Hasilnya, sebuah konsep sistem ejaan baru yang disebut Ejaan Pembaharuan.
Sementara itu, para utusan Persekutuan Tanah Melayu (PTM) yang turut hadir dalam Kongres Bahasa Indonesia II rupanya terilhami oleh kongres tersebut. Mereka lantas mengadakan kongres bahasa di Singapura tahun 1956. Dalam kongres itu, dicetuskanlah suatu konsep untuk menyatukan Ejaan Bahasa Melayu di Semenanjung Melayu dengan Ejaan Bahasa Indonesia di Indonesia.
Perkembangan berikutnya, disetujuilah perjanjian persahabatan antara Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu (PTM). Atas dasar perjanjian itu, dibentuklah panitia bersama Indonesia–Melayu. Panitia tersebut akhirnya menghasilkan suatu konsep ejaan bersama yang diberi nama Ejaan Melindo (Ejaan Melayu–Indonesia).
Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat untuk meresmikan Ejaan Melindo selambat-lambatnya bulan Januari 1962. Sayangnya, kesepakatan itu urung terwujud karena adanya konfrontasi antara kedua negara. Terlebih lagi saat itu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) mengemukakan ketidak-setujuannya atas konsep Ejaan Melindo.
Akhirnya pada tahun 1966 LBK yang diketuai Anton M. Moeliono mengusulkan sebuah konsep baru. Konsep tersebut dipakai sebagai ganti konsep Melindo. Panitia itu lantas disahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1967. Melalui panitia itu pula pihak Indonesia menyampaikan kepada Malaysia keberatan terhadap konsep Melindo dengan alasan ketidakpraktisan karena adanya huruf baru. Keberatan itu pun diterima oleh pihak Malaysia dalam sebuah perundingan di Kuala Lumpur.
Sejak perundingan itu, konsep LBK terus disusun dengan sungguh-sungguh. Bentuk kesungguhannya tampak dari diadakannya Seminar Bahasa Indonesia tahun 1968 di Jakarta. Diskusi kebahasaan juga dilakukan setahun berikutnya, yakni tahun 1969 di Jakarta dan Makassar. Akhirnya, konsep LBK itu pun diterima dalam Seminar Bahasa Indonesia di Puncak tahun 1972.
Sesudah itu, mulailah kembali usaha untuk memasyarakatkan sistem ejaan baru tersebut. Ejaan yang berdasarkan konsep LBK itu lantas disebut Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Penyebutan itu didasari atas tujuan disusunnya ejaan baru, yakni menyempurnakan ejaan-ejaan bahasa Indonesia sebelumnya, terutama konsep Melindo.
Pemasyarakatan EYD rupanya bukan perkara mudah. Kala itu masih banyak kalangan masyarakat belum bersedia menerima konsep EYD. Mereka menolak ejaan baru itu karena menganggap ejaan bahasa Indonesia itu dipengaruhi, bahkan meniru ejaan Malaysia. Namun, hal itu tidak membuat para ahli bahasa putus asa. Mereka justru gencar menyebarkan ejaan tersebut ke berbagai media massa. Bahkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, Mashuri turut memperjuangkan EYD dengan sepenuh tenaga. Berkat Mashuri pulalah EYD diresmikan oleh Presiden.
Sesudah diresmikan Presiden, EYD barulah dapat diterima masyarakat. Usai itu, terjadilah hubungan kembali antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, sebuah kesepakatan yang disebut Komunike Bersama terwujud. Dalam kesepakatan itu, diputuskanlah ketetapan ejaan masing-masing, yakni Ejaan Malaysia dan EYD.
4. PUEBI
Sekarang, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menerbitkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Pedoman ini disusun untuk menyempurnakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEYD). Pedoman ini diharapkan dapat mengakomodasi perkembangan bahasa Indonesia yang makin pesat. Pedoman ini merupakan edisi keempat berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tanggal 26 November 2016. Silakan baca lebih lengkap pada tautan berikut.
Mohon dikoreksi jika ada kesalahan. Terima kasih.
Daftar Pustaka
Hs., Widjono. 2007. Bahasa Indonesia: Mata Kuliah Pengembangan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo.
Lukman, Ali. 2000. Ikhtisar Sejarah Ejaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Wariah, Ernawati. 2008. EYD dan Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Jakarta: Kawan Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar